Kau dan aku
Aku
masih ingat saat itu kita hanya berdua membincang banyak hal. Tetapi intinya tentang kamu dan aku. Pagi itu
kita hanya berdua di sebuah kursi kayu panjang dalam rindang ketapang di Taman
Irfana. Taman yang hanya memiliki sedikit bunga. Entah siapa yang membuatnya.
Ia lebih tampak seperti hutan kecil. Lebih meyakinkan disebut taman yang tumbuh
secara alami daripada memikirkan siapa yang pertama kali membuatnya. Taman itu
tidak bernama Irfana, engkaulah yang mengarang nama, dan hanya kita berdua
menggunakan nama itu.
Aku
setuju saja nama itu, meski aku sangat ingin tahu alasannya kenapa harus taman Irfana.
Ada dua alasan yang kau sebutkan. Pertama, karena taman itu tempat pertaama
kali kita bertemu dalam pandangan yang saling mengalirkan debar dan selanjutnya
taman itu menjadi tempat kita selalu bertemu sejak kita saling kenal. Saat itu
engkau membawaku ke Jabal Rahmah di Arafah, tempat dimana Adam dan Hawa bertemu
pertama kali sekitar seratus tahun berpisah. Disanalah kasih dan sayang pertama
umat manusia. Dengan pandang matamu yang indah yang selalu saja mangalirkan
debar, engkau berkata padaku:
“
Bayangkanlah bagaimana engkau dapat menanggung rindu selama seratus tahun .”
“kita
akan memiliki kisah kerinduan yang berbeda dengan mereka.” Jawabku padanya.
Aku
senang engkau membawaku ke sana. Hanya aku tidak setuju bahwa Jabal Rahmah itu
menjadi tempat kasih dan sayang pertama kali umat manusia. Aku lebih setuju
bila disebut sebagai tempat kasih dan sayang pertama kali menjadi sempurna.
Perpisahan mereka adalah kisah kerinduan terpanjang dan kerinduanlah yang
menyempurnakan seluruh Kisah Kasih yang ada di dunia.
Lalu
aku tanya lagi apa alasan kedua. Yang kedua engkau bilang, tempat ini
satu-satunya tempat terbaik di kota ini bagi burung-burung kutilang. Setelah
mereka terbang mencari kehidupannya, Ketapang tua dan rimbun, serta keteduhan
taman kecil ini, menjadi tempat para Kutilang berkumpul, berkasih mesra dan
bernyanyi. Kita tidak sendiri bertemu di taman ini, tapi bersama mereka
burung-burung indah dan lincah itu.
Aku
masih ingat saat yang lain di taman itu kita hanya berdua membincang banyak
hal, tetapi substansinya tentang kamu yang ada aku
bersamamu. Engkau mengambil patahan
kecil dari ranting ketapang yang patah ke tanah. Lalu engkau membersihkan tanah
dari daun-daun kering yang jatuh. Lalu di atas tanah dengan ranting itu engkau
menarik sejumlah garis dengan lembut dan lurus, dan sekejap jadilah gambar
jalan panjang membentang. Engkau menggambar dua manusia di jalan itu. Yang di
depan itu adalah engkau dan aku di belakangmu. Engkau menghapusnya dan
menggambarnya lagi. Yang di belakang engakau dan di depan aku. Engakau menghapusnya lagi, lalu menggambar
sekali lagi, yang dikiri adalah engkau dan di kanan adalah aku.
Aku tersenyum dan sangat bangga, karena
engkau memiliki kemampuan bernarasi melalui gambar. Tersenyum karena aku baru
tahu soal kemampuanmu yang satu ini. Aku yakin banyak hal yang hendak engkau
sampaikan. Namun, yang aku jangkau dari narasimu bahwa engkau ingin aku
selalu ada bersamamu, kadang-kadang
harus di belakangmu, di sampingmu, atau di depanmu menyusuri jalan itu.
Mendampingimu tidak sepanjang jalan, tetapi setiap waktu. Waktu tidak akan
berujung karena keabadian adalah waktu yang tak terhingga. Sedang jalan itu
adalah ruang yang akan melebur cair ke dalam waktu.
Engkau
tersenyum karena aku dapat dengan baik menangkap makna gambarmu. Engkau
tesenyum karena engkau baru tahu bahwa aku mampu membaca gambar dengan baik.
Engkau bertanya kenapa aku baru menampakkan kemampuan membaca gambar? Aku
menjawab karena aku baru melihat engkau menggambar. Aku balik menuduhmu bahwa
sesungguhnya engkau lembih pandai membaca tidak saja garis-garis yang membentuk
gambar tapi juga gerak. Engkau selalu tahu apa yang terpendam dibalik pandang
mataku, apa ang terpendam dalam senyum-senyumku padamu, apa yang terpendam
dalam diamku.
Engkau
memintaku memberi nama untuk jalan itu. Aku hanya memberikan satu nama tanpa
ada pilihan lain. Nama jalan itu adalah Istiqamah, karena jalan ini
memeperlihatkan titik asal dan titik tujuan. Shiratal Mustaqim bukan jalan
lurus, melainkan jalan bagi orang-orang yang istiqam. Yakni orang yang memiliki
komitmen tentang asal, jalan dan tujuan, takut dengan komitmen yang telah ia
buat itu. Kau dan aku telah menggambar jalan itu dari sebuah titik mula menuju
titik tujuan. Lihatlah ! bukankah bumi ini sesungguhnya adalah sebuah padang
luas memebentang tak bertepi, bumi adalah miniatur padang mahsyar. Di tengah
padang, kita tidak pernah menemukan jalan sebab semua bagiannya dapat menjadi
jalan dan persimpangan jalan. Kita hanya dapat menentukan jalan, menggambar
jalan kita setelah menentukan asal dan tujuan. Tentunya tak ada jalan lurus,
pasti berkelok. Jika tidak ke kiri dan kananpasti mendaki dan menurun. Ada banyak
persimpangan yang menggoda untuk keluar dari gambar yang telah ada. Dan hanya
gambar yang menuntun kita.
Aku
sangat bahagia sebagaimana engkau bahagia karena kita telah memiliki dua
kenikmatan sangat mulia. Pertama Taman Irfina, taman tempat kita mengalami
pertemuan-pertemuan indah di temani orketsra burung-burung kutilang. Dan ,
kedua Jalan Istiqam, sebuah garis yang kita tentukan sebagai arah langkah
menuju tujuan. Kita punya waktu lima kali mampir ke taman itu untuk melihat gambar
jalan, apakah aku masih dekat denganmu di Jalan itu? Ataukah salah satu dari
kita telah masuk ke jalan lain? Ataukah kita berdua telah berada di jalan lain
yang tak berasal tujuan?
Kini
kita sedang berada di Taman Irfani, bertemu pandang dan saling senyum, membincangkan
banyak hal tentang kita, tentang gambar kita yang kian hari mendapat serangan
debu dan dapat saja menutupi garis gambar jalan kita. Di taman ini kita harus
selalu bertemu menyingkirkan daun-daun kering dan meyapu debu yang mengaburkan
gambar. Aku masih ingat dan akan selalu ingat “ BEGITU JANJIKU PADAMU”.